Belum pernah gw mengalami tahun ajaran baru seberat tahun ini. Bayangkan, anak gw masuk SD di sebuah sekolah swasta yang bersertifikasi IB World, trus kakak ipar gw yang sudah janda masukin anaknya ke SMU, yang pastinya biayanya dari gw and suami, trus maid gw masukin anaknya ke SMP, trus maid gw yang satunya lagi juga masukin anaknya ke SMP. Dan pastinya biaya keduanya juga dari gw. Nggak bisa dong gw pilih kasih.
Janji pemerintah tentang wajib belajar 9 tahun dan ada bantuan operasional sekolah (BOS) kayaknya tinggal janji aja tuh. Tetap saja masyarakat yang tidak mampu kesulitan untuk menyekolahkan anaknya. Gw dah kenyang baca di koran, denger di radio dan teve.Tapi tidak pernah ada solusinya. Ada yang harus gw lakukan selain menggerutu. Ya mungkin ini masih keciiiil sekali artinya. Tapi paling tidak gw sudah berbuat sesuatu kan. Jika kebodohan sangat dekat dengan kemiskinan, maka setidaknya gw sudah mengurangi mata rantai kemiskinan,walaupun itu hanya satu mata rantai. Jika mereka tidak sekolah, apa yang akan dan bakal mereka lakukan? Ya nggak. Makanya gw pikir, ya sutra lah..
Seminggu sudah berlalu. Semua sudah sekolah.Gw juga sudah mulai relax. Sampai gw denger masih ada satu orang lagi yang lolos dari perhatian gw. Kita sebut aja namanya Paijo. Dia karyawan gw yang paling baru. Baru 1 bulan. Orangnya rajin, tidak banyak omong, dan kelihatannya jujur. Ketika kita tanyakan usia anaknya yang pertama, dia menjawab 6 tahun. Wah berarti sama dengan usia anak gw yang masuk SD. Berarti dia juga mengalami kesibukan tahun ajaran baru. Tapi Paijo malah mengatakan bahwa dia tidak mampu memasukkan anaknya ke SD meskipun si anak sudah sangat ingin sekolah. Biasanya pada saat jam anak-anak berangkat sekolah, Paijo akan menutup pintu rapat-rapat agar anaknya tidak menangis karena ingin ikut ke sekolah. Gw ama suami tercekat. Jika kami begitu peduli dengan wajib belajar 9 tahun, mengapa ini yang paling mendasar, pendidikan paling awal kelas 1 SD, masih belum terpenuhi? Pertanyaannya: kalau sekarang anak itu tidak mendapat pendidikan, akan jadi apa dia besar nanti. Mungkin dia bisa saja jadi ustad tapi tidak tertutup kemungkinan kan dia juga bisa jadi penjahat.
Akhirnya pe-er kita di akhir pekan ini adalah mempersiapkan sekolah anak Paijo. Kalo sepatu gw belikan, tapi tas sekolah dan buku gw masih punya beberapa yang tidak terpakai oleh anak gw dan kondisinya masih bagus. Biar ngirit lagi untuk pasfoto, kita foto sendiri dengan digital kamera dan di cetak di Fuji Image. Kejadian yang menggelikan sekaligus ironis ketika di foto bocah itu sangat-sangat ketakutan dengan blitz. Bayangkan betapa dalam 6 tahun hidupnya belum pernah sekalipun dia di foto. Sementara anak gw kalau ngeliat gw pegang kamera sudah action nggak karuan.
Walau bagaimanapun gw tidak akan pernah lupa senyum Paijo, istrinya dan anak-anaknya ketika meninggalkan rumah gw. Itu senyum terimakasih yang paling tulus yang pernah gw lihat.
AYO...SEKOLAH...!
No comments:
Post a Comment