Sunday, February 24, 2008

Ipaabong on 1st year

*Request dari teman-temanku untuk menulis tentang Ipaabong sudah menghantuiku selama berbulan-bulan. Terus terang aku merasa agak nervous. Aku khawatir jika maksudku untuk berbagi ternyata di tanggapi skeptis. Oleh sebab itu aku tekankan dari awal bahwa tulisan ini aku buat semata-mata hanya untuk berbagi. Tidak ada niat untuk meninggi apalagi memanas-manasi. Nahujubilahiminzalik *
( Aku tidak tahu mengapa niatku untuk menulis tentang Ipaabong berkali-kali menghadapi masalah. Pada saat aku benar-benar memiliki energi untuk menulis, aku tidak memiliki kesempatan dan waktu. Sebaliknya pada saat aku memiliki kesempatan dan waktu, semua ide-ide ku telah terlanjur lenyap dari kepala. Dan pada saat aku memiliki semuanya, ide untuk bercerita, waktu untuk mengetik, dan tulisan yang siap untuk disajikan, semua hilang begitu saja dari layar computer. Kekecewaanku semakin lengkap ketika saluran speedy mengalami gangguan gara-gara kabel telefon terendam karena hujan deras semalaman. Ada lagi yang mau nambahin? )
Masih ingatkan cerita diblog-ku sebelumnya HHTA, tentang sepak terjang dan jerih payahku mencoba berjualanan makanan di beberapa event seperti bazaar-bazar. Cerita tentang usaha jualan soto padang yang tidak laku. Huhuhu,…sedih rasanya menerima kenyataan bahwa aku tidak cocok berjualan makanan. Lebih sedih lagi menerima kenyataan bahwa “mungkin” masakanku memang tidak enak. Jadi sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti misalnya ada pembeli yang menumpahkan semangkok soto keatas kepalaku sambil berteriak, “ ini soto padang apa air bilasan cucian !” atau yang lebih tragis lagi seandainya ada pembeli yang bilang, “ Orang jawa kok malah coba-coba jualan soto padang”, lebih baik niat untuk jadi pedagang makanan aku kubur dalam-dalam. Aku benar-benar ngeri membayangkan diriku masuk ke ruangan UGD karena disiram kuah panas semangkuk soto padang, dan mungkin aku juga perlu seorang psikiater untuk mendampingiku menumbuhkan kembali harga diriku yang down karena tundingan rasis dari pembeli yang rasis. Hehehe,…
Dan masih ingat jugakan cerita tentang usaha berjualan seprei nan gagal. Tapi aku masih belum menyerah. Tidak lama kemudian aku menjadi dealer Tupperware, trus ikut multilevel marketing AMWAY, abis itu CNI, dst…dst.
Lama-lama suamiku mulai risih dengan segala tindak tandukku. Atau mungkin juga ia kasihan padaku yang tidak henti- hentinya mencari jati diri. Akhirnya dia menyarankanku untuk merintis usaha dibidang percetakan. Pilihan jatuh pada bidang cetakan karena suamiku adalah karyawan di sebuah perusahaan konsultan buku pendidikan. Sedikit banyak ia memahami tentang seluk-beluk percetakan. Mulai dari harga kertas, proses produksi hingga finishing. Sejak saat itu mulailah pembicaraan tentang mendirikan percetakan jadi topik diskusi paling panas dimanapun kami berada. Saat sarapan, saat makan malam, saat sebelum tidur semua tidak lepas dari kegiatan diskusi dan debat panjang tentang percetakan. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, setelah memikirkan dengan sangat matang, dan menghapuskan segala keraguan dan kekawatiran terutama kekawatiran terhadap kambuhnya penyakit lamaku yang HHTA alias hangat-hangat tahi ayam itu tadi, akhirnya pada tanggal 6 juni 2003 berdirilah percetakan IPA ABONG.
Dengan membaca Bismilahirahmanirahim, Ipaabong menempati sebuah ruko dengan karyawan berjumlah 6 orang. Satu mesin potong, satu mesin cetak kecil bermerek Multilith, satu mesin emboss, dan satu mesin pons melengkapi keberadaan Ipaabong. Hari-hari di minggu pertama benar-benar menyedihkan. Tidak satupun ada pelanggan yang datang. Karyawanku cuma bengong-bengong, malah sampai ketiduran. Di minggu-minggu selanjutnya keadaan masih belum juga ada perubahan. Sekali-kali ada yang datang tapi hanya sekadar membandingkan harga. Dagangan benar-benar sepi.
Akhirnya aku berinisiatif untuk menyebarkan brosur agar percetakan Ipaabong dikenal orang. Aku sendiri turut andil dalam proses pendistribusian brosur-brosur itu. Kejadian yang cukup memalukan pernah terjadi kala itu. Di suatu siang aku membagikan brosur kekawasan bengkel motor. Disalah satu bengkel yang kukenal pemiliknya, karena ia teman adikku, aku mulai pasang aksi. Dari jauh aku sudah menebar senyumku yang paliiing manis. Dan aku sangat yakin gula aja kalah manis ama senyumku. Hehehe,...
Aku berjalan masuk ke bengkel itu dengan langkah penuh percaya diri. Saking percaya dirinya aku tidak melihat ke lantai yang aku lewati. Aku lupa bahwa aku sedang berjalan masuk ke bengkel yang lantainya penuh dengan ceceran oli dan licin. Lima,..empat,..tiga,..dua,…geeduuubraaak. Aku jatuh terpeleset dengan indahnya. Senyumku yang tadinya muanis banget berubah jadi uaseem banget. Aku berdiri sambil meringis kesakitan. Semua pada kaget, tapi nggak ada yang nolongin. Sialan. Mentang-mentang udah pada tau aku emak-emak dengan 2 anak. Coba kalo aku perawan ting-ting. Pasti semua pada lari pengen buru-buru ngegendong. Yang ada mereka malah cuma berkomentar, “Aduh,..mbak,..Hati-hati dong. Itu kan lantainya licin…!” Huuh,…Licin gigimu gondrong batinku dalam hati. Kasih karton kek, atau kasih papan pengumuman kek. Secepatnya aku menyerahkan brosur dan segera ngacir dari sana. Nyebelin.
Brosur-brosur itu teryata tidak memberikan perubahan yang nyata. Pekerjaan masih tetap sepi. Lalu kita memasang spanduk yang besar dengan tulisan yang mencolok plus promosi diskon. Akhirnya datang juga seorang bapak yang memesan cetakan sparasi. Sparasi itu adalah sebutan untuk cetakan full colour. Aku berikan harga yang pantas plus diskon tentunya. Beliau setuju dan memesan dalam jumlah yang lumayan. Tapi keesokan harinya aku baru menyadari bahwa aku salah dalam memberikan harga. Konsekuensinya aku harus menghubungi si bapak untuk membicarakan tentang kesalahan harga ini dan bisa di tebak, dia sangat marah. “Pokoknya gua kagak mau tau!”, katanya.
Aku meminta maaf dan memohon agar dia mau membayar dengan harga yang sesuai. Tapi dia keukeuh tidak mau menambah bayar. Akhirnya aku putuskan untuk datang menemuinya langsung, nangis-nangis sambil guling-guling dilantai, tidak lupa pakai gaya ngejambak-jambak rambut sendiri, dan ngelap ingus pake jari kaki,…and u know what?.... Beliau setuju. Aku tidak tahu beliau setuju karena kasihan atau takut di cekik orang gila. Hehehe….
Masih berkutat dengan pekerjaan yang seret, aku juga harus mencari cara membayar gaji karyawanku. Tabunganku makin lama makin menipis karena harus membiayai pengeluaran kantor dan tagihan-tagihan, dan akhirnya benar-benar habis setelah membayar uang THR karyawan. Pada saat bingung seperti ini aku mengadu pada sahabatku satu-satunya yang selalu ada didalam keadaan suka dan duka yaitu kartu kredit. Dengan berat hati aku mengajukan “personal loan” yang dicicil selama 12 bulan. Dananya bisa untuk bertahan selama lebih kurang 6 bulan kedepan.
Di semester kedua yaitu kurun waktu Januari 2004 hingga Juni 2004 masalah juga tiada hentinya. Mulai dari order yang tersendat-sendat, kwalitas cetakan masih saja jelek, karyawan sering nggak masuk, sampai pada karyawan yang suka ngutil alias suka ngebawain kertas atau apa aja pulang. Pusing?...Ya iya lah nek…Solusinya aku mengadakan rapat tiap 2 minggu sekali. Dan pesan yang selalu aku sampaikan adalah, “Anggap perusahaan ini adalah milik kalian juga. Kalau perusahaan maju, kita sama-sama maju. Tapi kalau perusahaan bangkrut kalian juga yang akan kehilangan pekerjaan”
Pada awalnya kata-kataku itu memang tidak memberikan pengaruh. Tapi pengaruhnya mulai terasa pada tahun-tahun berikutnya. Memberikan kepercayaan pada orang-orang seperti mereka tidak gampang. Karena seringkali mereka apatis. Mereka berfikir untuk apa memajukan usaha orang lain. Pokoknya kerja saja lalu di akhir bulan digaji, selesai. Kalau perlu bagaimana caranya bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya dari perusahaan tapi mengeluarkan tenaga sesedikit mungkin. Benar-benar menjalankan “prinsip ekonomi” ( jadi ingat pada Ibu Masni, siguru ekonomi ) Well,…masih penasaran?... Kayaknya disambung ke Ipaabong di tahun kedua aja ya….C…U….
TO BE CONTINUED………

No comments: