Aku selalu punya semangat yang menggebu-gebu untuk memulai sesuatu yang baru. Bicara tentang sesuatu yang baru, berarti sesuatu yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Sayang semangat yang menggebu-gebu itu sering kali padam begitu cepatnya. Secepat copet melarikan diri dari kejaran massa. Secepat mobil F1 di sirkuit Sentul (emang pernah ada mobil F1 di Sentul? Perasaan belum pernah deh. Tapi nggak papa. Kalo nggak setuju, Sentulnya nggak usah dibaca.Coret aja.) Dan satu lagi meskipun sama cepatnya, jangan pernah nyamain copet ama mobil F1. Ntar bisa digugat ama penggemar F1 lho. Belum lagi kalo F1 ngambeg dan nggak boleh tayang di Indonesia. Hayo siapa yang rugi coba?
Biasanya istilah yang dikenal untuk kegiatan yang sifatnya sebentar, nggak lama, pokoknya yang seperti itu lah, di sebut hangat-hangat tahi ayam. Aku juga tidak mengerti mengapa ayam yang terpilih diantara sekian banyak jenis binatang. Kan ada kucing, tikus, sapi, macan, dllsbny ( baca; dan lain-lain sebagainya ). Dan aku lebih tidak mengerti lagi mengapa harus (..maaf..) tahi yang yang jadi objek.
Kenapa sih nggak hangat-hangat ketek ayam aja?. Disamping ketek ayam juga hangat, kedengarannya juga sedikit lebih sopan kan? Tapi mungkin semua itu mungkin atas dasar pertimbangan ayam adalah hewan yang paling deket ama manusia kali ya?. Dagingnya enak, tahinya juga nggak payah-payah amat.( abis ngomongin daging ayam enak trus ngomongin tahi jadinya eneg banget.) Coba kalo tahi kucing, baunya…buju buneng, aseeem banget.( btw, congrat buat kucing. At least dia dapat yang istilah yang lebih terhormat yaitu kue lidah kucing ) Tahi tikus, udah kecil, bau lagi. Tahi sapi,…tetep bau dan gede banget kan?. Tahi macan? O, alah…belum sempet ngendus-ngendus untuk memastikan bau apa nggak, udah dimakan macan duluan. Kayaknya ayam yang dianggap paling relevan, maka terkenal-lah istilah hangat-hangat tahi ayam.
Nah sekarang mari kita urut dosa apa saja yang telah aku perbuat sehubungan dengan hangat-hangat tahi ayam ini.
Yang pertama ketika aku bilang pengen jualan makanan. Ini terjadi pada saat anak pertamaku berusia setahun. Dengan penuh semangat aku mengikuti bazaar yang diadakan di kantor pemasaran di daerah tempat tinggalku. Suami memodaliku dengan membelikan peralatan beserta etalase kecil ( yang beratnya aujubile…tapi selalu aku gotong-gotong, tergantung mau jualannya di mana.) untuk keperluan daganganku. Tapi hasilnya tidak kelihatan. Karena sering terjadi daganganku pepes ikan mas cuma laku 3 bungkus, soto padang cuma laku 10 mangkuk, sementara aku jajan siomay, nasi liwet, sate ayam, es doger, dan es cendol. Mana bisa untung? Aku pun mundur teratur dari dunia penjualan makanan.
Yang kedua ketika aku mengikuti bazaar di Parkir Timur Penayan. Aku ogah jualan makanan lagi. Jadi aku memilih untuk berjualan sprei, pakaian dan pernik-pernik jepitan rambut. Untuk sprei aku belanja bahan di Tanah Abang lalu di jahitkan, sedangkan pakaian dan pernik-pernik jepitan bermodalkan pinjaman dari seorang teman yang memang sudah memiliki toko pakaian. Bukannya dagangan laku, malah aku yang sibuk berbelanja. Mulai dari beli handuk, pakaian bayi, sepatu, dll. Belum lagi jajan rujak, es teller, es lilin, ( maklum,….panas terik.) batagor, dll. Alhasil bukannya untung malah buntung ( untung bukan bunting. Kebayang nggak sih seandainya, panas-panas, dagangan nggak laku, bunting pulak.) Besar pasak dari pada tiang. Pokoknya rugi berat lah. Akhirnya aku mundur dari medan pertempuran penjualan pakaian.
Yang ketiga ketika aku bilang ingin belajar merajut. Aku datang ke salah satu pusat perbelanjaan yang mengadakan kursus keterampilan merajut dan segera mendaftarkan diri. Setelah melengkapi keperluan merajut al: benang, jarum, dan buku, mulailah aku mengikuti kursus. Dasar memang tidak berbakat, hasil rajutanku selalu kusut dan berantakan. Dan anehnya setiap mulai merajut kepalaku menjadi pusing, di susul dengan rasa mual dan pandangan berkunang-kunang. Makin lama rasanya makin menyakitkan. Aku mulai berfikiran jangan-jangan aku menderita sindrom gagal rajut. Jadi akhirnya aku putuskan untuk berhenti. Terakhir peralatan rajutnya aku jual pada seorang teman dengan harga yang cukup pantas. Hihihihi…..(..ketawa kuntilanak...)
Yang keempat ketika aku bilang ingin belajar fotografi. Dengan wajah sendu ( lebih sendu dari wajah Nia Daniati) dan suara yang memelas (lebih memelas dari suara para pengemis di lampu merah ) aku memohon agar di belikan kamera yang agak bagus. Ternyata penggunaannya rumit sekali. Aku harus menghitung asa, diagframa, dll. Dan bisa di tebak hasil foto-fotoku jelek semua. Kalo tidak hangus ya…blur. Bukannya malah belajar lebih giat lagi ini malah menjadi alasan bagiku untuk minta yang digital. Tapi setelah punya yang digital tetep aja belum ada hasil jepretanku yang membanggakan. Huuuu..Terakhir aku menyalahkan mataku yang minusnya kelewat tebal.Padahal nggak ada hubungannya lagi.
Yang kelima ketika aku bilang ingin belajar menjahit, aku datangi beberapa tempat kursus menjahit. Sayang semuanya hanya mengadakan kursus di siang dan sore hari. Tidak ada yang pagi. Waktunya tidak sesuai dengan jadwal mengantar jemput dan les anak-anakku. Jadi aku batal ikut. ( Apalagi kalo inget serangan pusing, mual dan pandangan berkungan-kunang tiap memegang benang. Hiy,….mending nggak jadi dah.)
Yang keenam ketika aku ingin belajar berenang. Harap di catet ya pembaca sekalian. Sampe umurku 33 tahun begini aku masih belum bisa berenang. Padahal sudah mencoba belajar pada 3 orang guru yang berbeda. Jadi di catet aja ya, jangan diketawain.( Awas lo..)
Yang ketujuh ingin belajar alat musik. Alat musik apa saja. Piano boleh, gitar oke, biola juga ayo. Pokoknya apa saja. Asal jangan tutup botol limun digepengin trus di paku ke potongan kayu trus digoyang-goyang bunyinya kecrek-cekecrek-cekecrek. Ntar anak jalanan pada kesaingin ama aku lagi. Nggak lucu kan?
Yang kedelapan ingin kuliah lagi dan ambil jurusan kedokteran.
Yang kesembilan,…..
(……. dan berjuta-juta ingin di kepala yang mungkin bisa membuat suamiku jadi gila. Dari pada suamiku jadi gila lebih baik aku simpan saja keinginan-keinginanku ini di kepala…….)
No comments:
Post a Comment