Well, cerita tentang Ipaabong di tahun pertama terputus karena aku harus jemput anak pulang sekolah. Buru-buru nyambung lagi tulisan karena tidak ingin predikat HHTA melekat padaku.
Ditahun kedua roda perusahaan mulai bergulir meskipun amat pelan. Segala cara aku lakukan untuk memajukan percetakan ini. Setiap hari aku berada di ruko. Karena anakku yang kedua masih kecil, baru berumur 2 tahun, ruang kantor aku sulap menjadi ruang tidur darurat anak sekaligus tempat bermain. Aku menyediakan kasur lipat lengkap dengan bantal dan selimut serta meja kecil untuk makan. Jadi setiap hari aku dapat bekerja dengan tenang karena anak ada disampingku.
Meskipun amat pelan cash flow perusahaan juga mulai menunjukkan peningkatan. Aku sudah tidak perlu lagi menomboki gaji karyawan dan tagihan bulanan dengan uangku pribadi. Malah sudah bisa menyicil sepeda motor untuk mobilitas usaha. Sebaliknya urusan dengan karyawan benar-benar menguras otak dan tenaga.
Ambil saja sebagai contoh karyawanku di bagian marketing. Setelah diberi kepercayaan penuh, ternyata malah melarikan uang perusahaan. Jadi dia ternyata diam-diam menagih secara langsung tetapi uangnya tidak pernah di serahkan ke kantor. Lalu kabur begitu saja. Sempat beberapa kali mendatangi rumahnya tapi tidak pernah berhasil ketemu langsung dengan yang bersangkutan. Akhirnya karena capek kita mengikhlaskan saja uang yang sudah hilang. Berfikir positif mudah-mudahan Allah menggantinya dalam bentuk yang lain.
Adalagi tingkah karyawan dibagian setting yang kerjanya kasbon melulu. Usut punya usut ternyata istrinya dua. Ya pantesan lah. Gimana gaji mau cukup kalau mesti menghidupi dua dapur. Terakhir ketika aku tegur karena jumlah kasbonnya sudah terlalu besar karena setara dengan 3 bulan gaji, eh,...malah marah. Minta bukti. Lalu ketika aku tunjukkan bukti-bukti yang lengkap berikut catatan hari dan tanggal, dia terdiam dan besoknya tidak masuk-masuk kerja. Dan akhirnya berhenti begitu saja. Lha?!...Kok malah galakan dia sih? Dan utang-utangnya? Lagi-lagi tidak bisa di tagih. Capek akhirnya lagi-lagi kita ikhlaskan saja uang yang hilang. Dan lagi-lagi berfikir positif mudah-mudahan Allah menggantinya dalam bentuk lain.
Lain waktu ada lagi tingkah karyawan yang sering banget bolos. Alasannya karena malam kuliah jadi tidak bisa bangun pagi. Aku jengkel sekali karena dulu pada waktu akan memutuskan untuk kuliah dia sudah berjanji untuk tidak melalaikan pekerjaan. Malah aku juga membantu separuh biaya masuk kuliahnya dan aku juga yang membantu membayar uang ujiannya dengan cara cicilan lunak.
Belum lagi cerita tentang karyawan perempuan yang datang dengan mata lebam karena di tonjok suaminya. Aku terangkan tentang hak-hak perempuan, apa itu kekerasan dalam rumah tangga, bla...bla... dan aku terus nyerocos. Lama-lama aku merasa jangan-jangan aku jadi titisan Nursyahbani Katja Sungkana.
Cerita-cerita tentang tingkah polah karyawan silih berganti. Lama-lama peranku bertambah tidak hanya sebagai atasan. Tapi juga sebagai tempat mencurahkan perasaan. Ada yang ngadu anaknya sakit, istinya hamil lagi, mertua kesetrum, ibunya stroke, abangnya kecelakaan, dll...dll...Aku jadi "over loaded" Saking capeknya beratku turun hingga jadi 44 kg. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut bisa-bisa rambutku putih semua. Kulit keriput dan aku tua sebelum waktunya. Hiy,...
Akhirnya aku putuskan untuk mulai mengambil sedikit jarak dengan karyawanku. Tapi aku tetap berusaha untuk memperbaiki "atitute" mereka karena SDM yang baik nantinya akan memudahkan pekerjaan perusahaan. Aku tanamkan pada diri mereka rasa memiliki, tanggung jawab dan kerjasama team.
Jika di tahun kedua pembenahan mental karyawan menjadi hal yang paling difokuskan, maka pada tahun ketiga hal yang menjadi prioritas adalah penjualan atau kerennya di sebut marketing. Jika mesin-mesin telah siap ( mesin lama yang bermerek Multilith diganti dengan merek Ryobi plus membeli sebuah mesin lagi bermerek Oliver ), SDM juga sudah siap, tibalah saatnya bagi ujung tombak perusahaan yaitu marketing untuk beraksi.
Ipaabong merekrut seorang marketing yang cukup handal dan juga cukup mahal tentunya. Meskipun dia tidak punya "background" di bidang cetakan tapi ia bisa cepat belajar. Disamping itu orangnya juga ulet dan sangat gigih. Setiap dia punya janji untuk mendatangi suatu pabrik atau perusahaan aku selalu ikut dengannya. Karena dia tidak bisa menyetir, maka selama perjalanan aku yang menjadi sopir dan dia yang enak-enakan duduk disampingku. Sementara di tempat tujuan kadang kita disambut oleh satpam yang galak. Tapi beberapa ada juga yang baik. Begitu juga orang yang kita temui kadang ada yang sombong kadang ada yang ramah.
Jauhnya rute yang harus aku tempuh dan panasnya cuaca sering membuat kondisiku drop. Biasanya jika siang aku mendatangi pabrik-pabrik yang jauh dan cuacanya menyengat, pada malam harinya aku pasti mimisan. Mungkin suhu yang ekstrim menjadi pemicunya karena udara malam lebih dingin atau karena aku berada di ruangan ber-AC.
Yang pasti karena kerja keras ini aku benar-benar babak belur. Wajahku mulai dipenuhi jerawat karena asap pabrik yang kotor. Kulitku yang memang sudah hitam jadi semakin hitam. Rambutku yang memang sudah keriting jadi semakin keriting. Bahkan gigiku yang memang kuning jadi semakin kuning ( becanda ding...)
Tapi kehancuran fisikku ternyata dibarengi dengan hasil yang cukup nyata. Sedikit demi sedikit mulai ada pabrik yang mempercayakan cetakannya pada Ipaabong. Keuntungan mengerjakan cetakan pabrik mereka biasanya "repeat order" sedangkan kelemahannya adalah tempo pembayaran yang agak lama, biasanya satu bulan. Kontinyutas produksi menghasilkan pendapatan yang lumayan. Ini terlihat dari mampu-nya kami mencicil kredit sebuah motor lagi dan sebuah mobil bekas.
Keasyikanku mencari order membuatku mengabaikan anak-anakku. Si kecil lebih memilih bersama pembantu daripada denganku. Yang besar mengeluh padaku, " I have no friends mom..and I feel so lonely..." Dan ketika aku melihat kuku-kuku panjang belum dipotong, daki tebal di tumit kaki, telinga kotor kayak knalpot, "Oh...God! What I've done?" Mengapa bidadari-bidadari kecilku menjadi gembel-gembel kecilku. Ternyata aku memang harus memilih.
Aku harus memilih antara mendapatkan uang atau membesarkan anak-anakku. Dan aku memilih untuk kembali keanakku. Aku tidak ingin kehilangan masa-masa indah ini. Aku ingin selalu berada didekat mereka setiap waktu. Ada yang tidak bisa tergantikan dengan uang. Dan ini juga kulakukan untuk kebaikanku sendiri. Karena aku mulai merasakan ketidak-seimbangan emosi. Aku jadi mudah marah jika dalam keadaan capek. Aku mudah stress dalam menghadapi masalah. Dan yang paling penting aku tidak ingin kehabisan darah karena hampir tiap malam mimisan ( Anemia sih iya. Tapi kalo kehabisan darah kayaknya nggak mungkin deh,..)
Maka di tahun keempat ini aku mulai mengurangi malah nyaris menghentikan kegiatanku. Aku hanya ngantor diakhir bulan untuk menghitung lembur dan membayar gaji karyawan. Di hari-hari biasa aku hanya mampir sejam atau dua jam sekedar untuk bertegur sapa dan melihat-lihat saja. Sisanya kuhabiskan untuk mengurusi anak-anakku. Mengantar jemput sekolah, les, membantu mengerjakan peer, menemani makan, membaca sama-sama, etc. Bahkan pembantu yang mencoba merebut perhatian anakku sudah aku pecat!
Ipaabong juga dapat berjalan tanpaku. Ini semua berkat rasa saling memiliki, tanggung jawab dan "teamwork" telah berjalan. Dengan atau tanpa aku mereka sudah sadar akan kewajibannya masing-masing.
Untungnya suamiku mau mengerti keadaanku dan sekarang setiap hari sebelum berangkat kekantor ia menyempatkan diri untuk hadir dan mengontrol keadaan percetakan dulu. Jika pulangnya agak cepat ia pun akan mampir lagi ke percetakan. Malah kini ia memberanikan diri untuk melakukan diversifikasi produk. Sejak Juni 2007 berdiri Ipaabong "bubut dan kotler" yang bertempat di garasi sebelah ruko Ipaabong "percetakan". Mudah-mudahan semua dapat berjalan dengan lancar.
No comments:
Post a Comment