Terus terang setiap aku pulang kampung rasanya ada sesuatu yang hilang. Karena sekarang setiap pulang kampung aku ke Rumbai yang tidak punya ikatan apa-apa denganku. Sedangkan aku merasa kampungku yang sesungguhnya adalah Duri. Kota kecil kecamatan yang kini tergagap antara ingin menjadi besar tetapi jelas-jelas belum siap di segala bidang. Terakhir dari berita yang aku dengar di televisi rencana pemekaran Mandau dari kecamatan menjadi kabupaten ternyata ditolak. Membayangkan Duri dimasa silam adalah hal terindah sepanjang kenangan hidupku. Masa kanak-kanak yang kuhabiskan sepenuhnya disana, melekatkan memori yang teramat dalam di benakku.
Tahun 1978 setahun setelah kelahiran adikku, ayahku memutuskan untuk memboyong seluruh anggota keluarganya yaitu ibuku dan sepasang balita; aku dan adikku untuk pindah ke Duri. Karena belum mendapatkan jatah rumah dinas, yang saat itu amatlah sulit, ayahku memilih untuk mengontrak rumah di Jalan Obor. Kami tinggal dalam lingkungan yang sangat heterogen. Tetangga berasal dari berbagai macam suku dan latar belakang yang berbeda. Ada guru, ustadz, pedagang, tukang, buruh, dll. Kehidupan berjalan dengan keunikannya sendiri-sendiri.
Tunggu punya tunggu rumah dinas yang diharapkan tak kunjung datang. Akhirnya ayahku memutuskan untuk memiliki rumah sendiri dengan fasilitas cicilan lunak dari perusahaan tempatnya bekerja. Pilihannya jatuh pada sebuah tempat yang bernama Jalan Kebun Karet. Sesuai dengan namanya tempat ini sebelumnya adalah sebuah hutan karet yang dikelola menjadi perkebunan. Hingga akhirnya satu demi satu berdiri rumah disana. Bukan suatu kebetulan jika semua rumah yang ada merupakan rumah dengan system kepemilikan yang sama, yaitu cicilan dari perusahaan. Karena semua berasal dari latar belakang pekerjaan yang sama yaitu karyawan pt caltex, maka kehidupan kami disini menjadi sangat homogen. Tidak jauh berbeda dengan kehidupan dilingkungan rumah dinas yang lazim disebut dengan camp.
Jalan kebun karet no 4a menjadi tempat tinggalku selama bertahun-tahun. Rumah yang cukup besar bagiku dan dengan halamannya yang luas benar-benar bisa memenuhi segala kebutuhanku. Awal-awal kami tinggal disana ibuku mulai menanami halaman belakang dengan berbagai macam tanaman. Dari satu hingga dua jenis tanaman, lama-lama koleksi nya menjadi lengkap. Mulai dari rambutan, mangga, jambu air, jambu klutuk, sirsak, tebu, singkong, keladi, kelapa hingga cengkeh. Belum lagi tanaman untuk bumbu dapur seperti jahe, lengkuas, sereh, kunyit, kencur, cabe rawit, cabe merah dan tomat.
Tiap tanaman punya kenangan sendiri-sendiri bagiku. Yang pertama pohon singkong. Jejeran pohon yang rapi aku memungkinkan aku untuk membangun gubuk-gubuk-an disini. Nantinya didalam gubuk itu aku akan bermain masak-masakan. Kalau disana dikenal dengan istilah main “alek-alek”. Setelah bosan biasanya aku menyanyi sambil berputar-putar mengelilingi pohon singkong dengan lagu yang asal bunyi alias ngarang. Lengkap dengan tarian dan gerakan ciluk ba dari balik pohon. Siapapun yang mendengarnya pasti akan merinding. Merinding bukan karena saking merdunya tapi merinding karena kayak suara kuntilanak. Hiiiihihihihihi....( kalo ini ketawa kuntilanak)
Pohon rambutan adalah tempat favoritku untuk menikmati makan siang. Makan siang dalam arti yang sesungguhnya. Sering aku membawa piring lengkap dengan nasi dan lauk-pauknya keatas pohon lalu menghabiskannya disana. Maknyus nya tak terhingga, saudara-saudara. Apapun makanannya...pohon rambutanlah tempatnya. Biasanya kalo udah begini aku bisa makan sampe dua piring. Nggak pernah kebayang kaaaan,…makan diatas pohooon...( hanya satu kata, "alangkah monyetnya dikau inge....)
Kalau pohon jambu ceritanya lain lagi. Pohon ini menjadi tempat aku latihan memanjat. Pohonnya bercabang banyak. Jadi memanjatnya pun tidak sulit. Pernah suatu kali tanpa aku sadari aku memanjat terlalu tinggi hingga akhirnya aku ketakutan dan tidak berani turun. Salah seorang om-ku akhirnya terpaksa mengevakuasiku dengan cara menggendongku untuk turun dari pohon. Tapi aku nggak kapok. Besok-besoknya ya..manjat lagi.
Kalo pohon mangga baru bikin aku kapok. Saking napsunya mo ngambil buah mangga yang bergelantungan aku nekat manjat pohon mangga yang ada semutnya. Sekelompok semut rangrang, menyerangku tanpa ampun. Masuk kedalam baju dan kedalam rambut. Mana gigitannya kuat sekali dan seperti lengket dikulit. Ih,...ngebayanginnya aja serem.
Pohon jambu klutuk paling asyik. Karena pohonnya lentur dan tidak mudah patah, paling enak berayun-ayun di pohon ini. Permukaan batang dan dahannya juga halus dan tidak kasar. Apalagi jika kita kelupas lapisan kulit pohonnya yang telah mengering. Jadi muluus…banget. Semulus pahaku….dulu maksudnya... Dulu banget…,…kalo sekarang sih udah penuh strech mark dan selulit. Jadi belang-belang kayak zebra deh... Hahahahaha…
Kalo pohon kelapa aku nggak bisa manjatnya karena pohonnya lurus banget. Jadi susah. Dan lagi aku nggak tega mau ngerebut lahan saudara lamaku,…si monyet. Tapi kalo berdasarkan cerita-cerita diatas sih, sebenarnya aku ama monyet hampir nggak ada bedanya. Paling bedanya aku lebih cantik kali ya. Btw didalam tubuhku memang mengalir darah...eh...air liur monyet. Lho...?!..ntar..diceritain.
Pohon cengkeh rantingnya kecil-kecil dan pendek-pendek. Jadi tidak menarik untuk dipanjat. Ditahun kelima pohon cengkeh kami berbuah cukup banyak. Kegiatan memanen, lalu mengeringkannya dengan cara menjemur jadi kegiatan yang amat menyenangkan bagiku. Cengkeh yang telah mengering kemudian dibawa ibuku kepasar untuk dijual. Lumayan karena uangnya diberikan padaku yang dinilai telah cukup bersusah payah sebelumnya. Pelajaran yang dapat dipetik disini, ibuku mengajarkan bahwa jika kita mau bekerja kita akan mendapatkan uang.
(...inge,..maksud loh mo nulis cerita apa mo nulis tugas biologi, seh.... dari tadi cerita pohooon melulu,...)
Iya deh,..sekarang ganti cerita tentang hewan peliharaan. Puas....!Puas....!
Kami pernah memelihara kucing, kelinci, ayam bahkan monyet. Kucing?..Yah biasalah,..tinggal di dalam rumah dikasih makan, trus kadang-kadang dikasih susu yang tidak habis diminum. Kalau kelinci nasibnya sungguh tragis. Karena kandangnya langsung diatas tanah, tanpa dialasi papan mereka sering diam-diam menggali lubang dan keluar tanpa ketahuan. Lama-lama habislah mereka dimakan anjing. Mula-mula bapaknya, trus emaknya, trus anak-anaknya. Akhirnya tu kandang jadi kosong melompong. Hhhh….what a sad story.
Nah,...sekarang cerita tentang si monyet yang aku janjikan tadi. Suatu hari ayahku dihibahkan seseorang dua ekor monyet berikut kandangnya. Monyetnya sih biasa aja. Yang istimewa itu kandangnya. Aku sangat suka dengan kandang monyet itu. Kandang terbuat dari besi dan teralis berkwalitas sangat baik dengan ukuran 2m x 3m x 2m dan ketinggan 40cm dari atas tanah. Kandang itu sangat kokoh. Bahkan pintunya cukup lebar untuk keluar masuk bagi seukuran tubuh orang dewasa. Nah,..tugas untuk ngasih makan monyet merupakan bagianku. Setiap hari aku yang mengurus makan dan minumnya. Ngasih pisang, papaya, kadang roti tawar, sekali-sekali kacang (ini camilan..) Dan aku pun tidak sungkan-sungkan untuk masuk kedalam kandangnya. Setelah berbulan-bulan entah kenapa suatu hari saat aku sedang memberi mereka makan mereka mendadak menjadi buas. Mereka menjerit-jerit histeris dan mendadak menggigit kakiku. Oh,…kakiku…kakiku yang indah tapi pengkang. Hahahaha….
Dan terulang lagi kejadian aku dibawa ke Emergency Room. Unutk kesekian kalinya aku mendapatkan suntikan anti rabies. Pak Mantrinya sampai geleng-geleng kepala, “Inge…inge…kemaren digigit anjing, trus kemarennya lagi digigit kucing, trus kemaren lagi.....digigit anjing lagi,…sekarang malah digigit monyet….besok mau digigit apa lagi?”…Yah,…pak mantri, jangankan bapak wong saya juga heran. Jangan-jangan wajah saya yang imut dan kayak boneka ini sangat menggemaskan bagi mereka ya pak? ...Howeeek...yang pengen muntah silahkan muntah aja dulu. Ketika aku pulang dari rumah sakit yang kutemui hanyalah kandang yang kosong. Kata ibuku sepasang monyet itu diberikan pada seseorang untuk dijadikan monyet pemetik kelapa. Aku sangat sedih mendengarnya. Hik..hik..hik…Good bye my friends…
Diluar pelataran rumah, aku bersyukur memiliki lahan bermain yang tiada habisnya. Mulai dari padang rumput ilalang, semak-semak belukar, hutan kecil, mata air, kubangan hingga kolam ikan milik tetangga, adalah medan eksplorasi yang tiada habisnya. Menerobos lalang dengan sebatang tongkat ditangan, menebas kekiri dan kanan untuk membuka jalan, setiap langkah berbunyi srek, srek,srek wow…Jika beruntung kami menemukan sarang burung berikut telur-telurnya. Kali lain kami berpura-pura sedang memerankan tokoh Hangtuah, Hangjebat, dan Hanglekir. Menghayal jadi pendekar pendekar Melayu.( maklumlah,...tontonan kala itu hanyalah RTM 1 dan RTM 2. Jangan heran kalau kami sangat mengidolakan P.Ramlee, yang juga pernah memerankan Hangtuah dalam salah satu filmnya )
Semak-semak juga kaya dengan buah-buahan yang bisa di jadikan camilan. Beberapa tumbuhan merambat mempunyai buah yang enak, salah satunya yang sering kami konsumsi(kalo nggak salah) buah seletut. Ada juga sejenis pohon perdu yang memiliki buah berwarna ungu yang jika dimakan mulut jadi cemong-cemong hingga lidah dan bibir pun ikut berwarna ungu. Tau permen "jagoan neon"...? Yang bisa bikin lidah warna-warni..?Hm....kami udah duluan punya lidah berwarna. Menurut kasak-kusuk yang beredar diantara kami itu makanan ular. Heran ya,...sampe makanan ular pun diembat. Untung nggak papasan ama ularnya. Dengan riwayatku yang sering jadi korban gigitan binatang, aku tidak ingin hewan yang satu ini ikut-ikutan meninggalkan kenangan untukku.
Hutan karet juga tempat main yang tidak kalah menyenangkan. Sering kami membuat ayunan dari ban bekas disana. Malah kadang beberapa tali besar diikatkan diatas beberapa pohon untuk main tarzan-tarzanan. Jika bosan kami mengumpulkan buah karet yang masih muda untuk diukir menjadi sebentuk kepala seperti pumpkins di pesta Halloween. Kegiatan lain seperti mengoleksi biji karet yang telah kering ( kami menyebutnya buah para ) karena coraknya yang bermacam-macam.
Atau saling mengadu biji karet untuk mengetahui milik siapa yang paling keras. Caranya letakkan biji karet pertama diatas lantai, lalu pegang biji karet kedua dengan tangan kiri tepat diatas biji karet yang pertama tadi. Setelah sejajar, pukul sekuatnya dengan tangan kanan. Biji karet yang tidak pecah adalah pemenangnya. Masih nggak ngerti ?....Baca sekali lagi. Kalo masih belom ngerti juga baca bismilah dulu. Masih belom ngerti juga?....mendingan lewati saja paragraph ini ya…
Intinya, alam Duri menyediakan semuanya untuk aku dan teman-temanku. Aku merasa benar-benar menjadi salah seorang anak Sakai seperti yang sering aku khayalkan. Jika akhir-akhir ini di televisi ada tayangan si bolang (bocah petualang) yang kegiatannya nyaris sama dengan kegiatanku dulu, bedanya mereka pakai skenario. Seandainya saja dulu ada yang mendokumentasikan petualangan kami dan menjadikannya tontonan realty show aku yakin tayangan kami akan top rank. Btw....jangan jangan produser dan sutradara Si bolang, teman-teman aku bermain dulu, ya..…
Terima kasih untuk ayahku yang memutuskan untuk tinggal di luar camp dan terima kasih juga untuk ibuku yang memberikan kebebasan untuk mengekplorasi alam sekitar. Semua pengalaman itu benar-benar indah dan tak terlupakan. Seandainya ayahku segera mendapat jatah rumah dinas, mungkin semua cerita indah ini tidak akan pernah terjadi. Aku bersyukur dapat menikmati dua alam kehidupan yang berbeda. Bukan alam nyata dan alam gaib, lho..Tapi yang aku maksud adalah kehidupan diluar camp dan kehidupan didalam camp.
Aku mengenang saat-saat kala listrik padam dan kami semua duduk-duduk diatas tikar yang digelar dihalaman. Sambil mengobrol dan kipas-kipasan, biasanya kami jajan bakso yang lewat. Atau tidur-tiduran sambil berangan-angan kapan listrik bisa hidup 24 jam ( dulu listrik nyala setiap jam 5 sore dan akan padam pada jam 7 pagi )
Aku mengenang saat musim kemarau panjang hingga sumur-sumur kering dan kami mesti berhemat dengan cara apapun termasuk menampung air bekas wudhu untuk menyiram tanaman. Aku mengenang saat menantikan tibanya masa mandi hujan setelah kemarau panjang.
Aku mengenang saat aku jatuh cinta pada seorang anak lelaki tetangga sebelah yang berumur dua tahun diatasku, hingga aku betah berjam-jam duduk dijendela hanya untuk memandangi rumahnya, berharap dia keluar dan menyapaku. Padahal kala itu aku masih duduk di kelas 5 sd. Alangkah genitnya.
Aku mengenang saat bersepeda dan berpetualang. Mula mula rutenya memang dekat tapi makin lama makin jauh meninggalkan rumah. Sering kami menyusuri jalan Hangtuah disiang bolong, demi mencapai supermaket satu-satunya kala itu "Multi Delano" untuk membeli sekaleng minuman bersoda lalu pulang. Malah kadang kami bersepeda hingga ke jalan-jalan menuju lokasi pompa minyak.
Aku mengenang pertemananku dengan anak-anak kampung yang memberiku ilmu yang tidak ada dibuku-buku. Aku adalah kombinasi dari kehidupan yang mapan dan tidak mapan. Dan aku sungguh mencintai kombinasi ini.
……”Hingga kini ketika aku dewasa masa kanak-kanak yang indah dan bau hutan yang kurindukan ini sering kuceritakan kepada anak-anakku sebagai dongeng pengantar tidur…..”
No comments:
Post a Comment