Sabtu minggu kedua di bulan desember ini aku berhasil mengalahkan rasa bimbang dan ragu. Rasa bimbang dan ragu itu berkaitan dengan pinangan suamiku untuk menjadikanku sebagai navigator-nya dalam kegiatan offroad.
Keahlianku sebagai navigator di kehidupan sehari-hari memang tidak dapat diragukan lagi (ehem…ehem..) tapi sebagai navigator di medan offroad, dalam arti yang sesungguhnya ( halah…),duduk disamping pengemudi,….hm….terus terang aku sendiri merasa ragu. Karena seorang navigator dituntut untuk bisa membaca medan, memberikan saran, bahkan bantuan secara fisik jika diperlukan.
Setelah menguatkan hati, memastikan berkali-kali bahwa ini one day trip, bahwa rute aman dan meminta anak-anak agar mendoakanku selamat pulang dan pergi, akhirnya aku berangkat juga. Tidak mudah untuk mengalahkan rasa cemas di usia 34 tahun ini. Entahlah…sejak menikah apalagi setelah memiliki anak nyaliku mudah ciut. Aku jadi takut naik jet coaster, takut ketinggian, takut mobil kencang, takut ini, takut itu, pokoknya aku berubah 180 derajat. Padahal dulu waktu masih muda (caile…muda nih ye…) aku menganggap diriku cukup pemberani.
Perjalanan berawal dengan janji untuk berkumpul di Cibubur. Tapi karena keterlambatan aku dan suamiku yang teramat fatal (+/- 2 jam) akhirnya kami ditinggal dan diminta segera menyusul ke Cibinong. Setelah sempat nyasar 2x akhirnya kami bertemu juga dengan rombongan yang terdiri atas 5 mobil. Asyik…kalo rombongan sedikit berarti perjalanan bisa cepat selesai. (Lho…belum mulai kok udah mikirin selesai…)
Melewati perkampungan kecil, kami layaknya pendekar yang pulang dari perang. Dielu-elukan oleh anak-anak kecil sepanjang perjalanan. Mereka bersorak-sorak bahkan memberikan tepuk tangan tangan pada setiap mobil yang melintas. Sesekali aku melambaikan tangan pada anak anak kecil yang memandangku dengan malu-malu. Ada rasa haru menyelimutiku. Perasaan yang sama ketika aku menyandang gelar “Putri Rangau”. Huahahaha……
Meninggalkan perkampungan kami mulai melewati jembatan-jembatan darurat dari pohon kelapa. Bahkan terakhir tidak ada jembatan lagi sehingga kami harus melintasi sungai kecil dengan kedalaman setengah meter dan lebar 5 meter. Harus hati-hati karena banyak batu-batu besarnya. Aku hanya bisa menahan nafas dan berpegangan erat-erat. Sesampainya di seberang,…what?!...Disana telah berkumpul sekitar 10 mobil yang sedang mengantri untuk melewati sebuah tanjakan curam. Berarti impianku untuk cepat selesai buyar sudah.
Tapi…tunggu dulu,…ternyata kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapat giliran. Sebuah tanjakan yang cukup curam dengan kemiringan sekitar 80 derajat membuatku sedikit gemetar. Apalagi beberapa mobil yang kulihat sebelumnya berkali-kali naik tapi juga berkali-kali merosot turun karena saking licinnya. O..o...mendingan aku turun dan memilih untuk berjalan kaki saja daripada jantungku menciut jadi sebesar bola golf. Sementara aku berjalan mendaki dan ngos-ngosan dibawah tetesan hujan, bojoku dapat dengan mulus melewat tanjakan itu. Tidak ada adegan naik dan turun berulang-ulang seperti mobil sebelumnya. Ah,…seandainya saja aku tau…
Melintasi medan yang sangat rusak dan licin, kami sempat membantu sebuah mobil yang melintir dan nyaris “ngguling”. Memang menghabiskan cukup banyak waktu, tapi ternyata disinilah letak seninya. Memandang, lalu memikirkan dan kemudian mencoba berbagai macam “movement” dan “moment” membuat kita jadi ketagihan. Aku mulai bisa merasakan “beat-beat” nya. Aha…
Jam 1 siang kami sampai di sebuah lapangan terbuka. Apa mau dikata,..disini telah berkumpul rombongan CJ 7 yang tampaknya mulai lebih pagi. Jumlahnya sekitar 10 mobil dan tampaknya mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya dan sedang bersiap –siap untuk meneruskan perjalanan. Kami yang baru sampai memutuskan untuk makan siang disini sambil menunggu beberapa mobil yang masih mengantri dan tertinggal dibelakang.
Setelah memarkirkan mobil, aku mulai membuka bekal : nasi dengan lauk sambal tanak ( iya..iya..yang teri ama pete itu…) plus nori , tetapi aku merasa mobil pelan-pelan berjalan mundur. Aku mulai menjerit-jerit memanggil suamiku. Tapi dia sedang asyik ngobrol dengan teman-temannya. Makin lama makin cepat, aku pun reflek bergerak melompat keluar. Akhirnya mobil berhenti setelah masuk kedalam sebuah got kecil. Dan tumpahlah semua bekal makan siangku termasuk si pete dan teri itu tadi. Yang tertinggal hanya beberapa genggam nasi. Sambil makan nasi hanya dengan nori, suamiku berkata, “romantis kan, mi..” Aku cuma melotot dan …arrrgh… ingin rasanya kulumuri wajahnya dengan tumpahan makanan tadi.
Lepas dari insiden kecil tadi, setelah menunggu sekitar 2 jam, perjalanan dilanjutkan. Tapi diputuskan untuk tidak menuntaskan seluruh medan karena beberapa mobil mengalami kerusakan yang cukup parah. Baru jalan sekitar 10 menit kita terpaksa terhenti karena rombongan CJ yang sudah berangkat 2 jam lalu ternyata masih disekitar situ-situ aja. Ada sekitar 4 mobil yang malang melintang nggak karuan. Lagaknya mereka agak “beda”. Cowok-cowoknya rada sengak gitu. Saking sengaknya aku sampe kebelet pipis. Dan akhirnya pipislah aku di semak-semak, hanya gara-gara ngeliat orang sengak. Ups… Cewek-ceweknya juga banyak. Konon katanya salah seorang dari mereka adalah model FHM . Pantes…seksi euy…Tapi,..please deh ah,…Ditengah hutan gini masih aja TP alias tebar pesona.
Dari pada lama-lama nunggu, kami putuskan untuk meninggalkan mereka. Jalannya bener-bener ancur. Batu-batunya besar-besar. Mulai dari yang sebesar batu ulekan, sebesar mesin tik, sebesar computer, sampe yang sebesar boks bayi. Hehehe…yang terakhir itu bo’ongan, lagee…..Nggak ada ding batunya yang sebesar boks bayi. Disamping batunya gede-gede jalannya licin sekali. Berkali-kali mobilku melintir dan ngepot kesana kemari. Aku benar-benar panik. Mulutku komat-kamit mencoba membaca alfatihah dan ayat kursi. Tapi ternyata ya, kalo jantung mau copot, mata mau keluar, bibir biru, dan keringat keluar segede-gede jagung, otak suka nggak sinkron ama mulut. Yang ada aku cuma bisa bilang “Alham…Alham….Alhamdulillah….berkali-kali. Nggak satupun surat yang aku hapal diluar kepala bisa aku baca dengan lancar. Ampuuun…
Makin lama aku makin relaks dan bisa enjoy. Karena berada dibarisan paling depan, selayaknya memberikan instruksi lewat radio. Aku pun mulai berceloteh, “Awas…didepan ada tikungan tajam,….” dll.
Diantaranya, “ Awas…ada turunan yang sangat curam…” kataku mencoba memberikan rambu-rambu…Dijawab, “Yah…mbak….segini mah nggak curam…!”“Awas…jalanan jelek sekali karena batunya besar-besar…”Dijawab, “Yah…mbak …batu segini kok dibilang besar…?”“Awas…jangan diliat…ada cewek-cewek lagi pada mandi di kali…”“MANAAA….?!”......”MANAAA…?!
Huh,…dasar….!
No comments:
Post a Comment