Monday, October 29, 2012

Masih tentang mangga


Senin pagi, minggu terakhir oktober. Rutinitas pagi di rumah telah beres. Saatnya berangkat ke kantor. Dalam perjalanan menuju kantor aku melihat sekilas di tepi jalan, siBapak sol sepatu sedang menerima dua buah mangga, dari tukang mangga yang berdagang keliling dengan menggunakan becak.  Aku melihat siBapak sol sepatu menolak dengan mendorong halus buah mangga yang akan diserahkan oleh si tukang mangga. Terlihat dia sungkan dan malu menerima pemberian itu. Tapi aku melihat lagi si tukang mangga memaksa siBapak sol sepatu untuk menerimanya,.. keduanya tersenyum, mencoba saling memahami dan menyelami perasaan masing-masing. Hingga akhirnya siBapak sol sepatu menerima dengan raut penuh terimakasih. Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka tapi aku yakin jika siBapak sol sepatu sangat-sangat berterima kasih, dan si tukang mangga bahagia luar biasa karena bisa memberikan sesuatu yang berarti.  Kejadian singkat, mungkin aku hanya menyaksikannya dalam hitungan detik, tapi air matakku mengambang. Aku terharu. Orang kecil begitu tulus, sederhana, dan tidak mengada-ada. Mendadak aku teringat kejadian pada perayaan hari raya kurban yang baru saja berlangsung kemarin. Ketika seorang Bapak berpredikat haji, dan mengaku sebagai pemilik pondok pesantren, datang dengan wajah penuh amarah. Dia datang dengan diikuti oleh beberapa pemuda dewasa tanggung.  Si bapak (konon) haji  ini tidak hanya datang dengan wajah penuh amarah, tapi juga berteriak-teriak seperti orang kesurupan, menuntut jatah daging kurban dan uang. Semua yang menyaksikan terkesiap. Dan hanya bisa beristighfar. Ketika beberapa pengurus masjid mencoba menenangkan, beliau malah semakin emosional. Menurutnya dia berhak atas jatah daging lebih banyak lagi, karena  jumlah yang telah diberikan sebelumnya kepada santrinya, tidak cukup. Bahkan dia menuntut uang atas bantuan yang telah diberikan santrinya dalam proses penyembelihan. Entah dia yang kurang memahami situasi ataukah tidak ada koordinasi, tapi yang jelas upah yang menjadi hak si santri telah dibayarkan kepada yang bersangkutan. Sedih rasanya melihat seorang yang mestinya menjadi contoh teladan bertingkah laku seperti itu. Apalagi melihat santri-santri muda yang ikut datang menemaninya. Seperti itukah contoh nyatanya? Tindak-tanduk serakah,kasar, menggertak, seperti itukah yang akan ditiru oleh para santrinya? Jika ya, akan sungguh menyedihkan.
Kemaren aku menyaksikan langsung keserakahan orang yang dipandang terhormat, dan aku yakin cukup berada, tidak kekurangan secara materi. Tapi hari ini aku menyaksikan langsung kedermawanan orang yang bukan dianggap siapa-siapa, hidup pas-pasan bahkan mungkin sekali dua mengalami kekurangan. Begitu banyak pelajaran hidup dihadapan kita. Jika kita jeli dan mau sedikit berfikir menggunakan akal yang dikaruniakan kepada kita, insya allah kita akan selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Hari ini dalam perjalanan pendek menuju kantor aku memetik hikmah, dan lirih aku berdo’a: Ya Allah, jadikanlah aku orang yang selalu bersyukur, tidak serakah, dan bisa berarti bagi orang_orang disekelilingku, amin yra.

No comments: