Senin pagi, minggu terakhir oktober. Rutinitas pagi di rumah
telah beres. Saatnya berangkat ke kantor. Dalam perjalanan menuju kantor aku
melihat sekilas di tepi jalan, siBapak sol sepatu sedang menerima dua buah
mangga, dari tukang mangga yang berdagang keliling dengan menggunakan
becak. Aku melihat siBapak sol sepatu
menolak dengan mendorong halus buah mangga yang akan diserahkan oleh si tukang
mangga. Terlihat dia sungkan dan malu menerima pemberian itu. Tapi aku melihat
lagi si tukang mangga memaksa siBapak sol sepatu untuk menerimanya,.. keduanya
tersenyum, mencoba saling memahami dan menyelami perasaan masing-masing. Hingga
akhirnya siBapak sol sepatu menerima dengan raut penuh terimakasih. Aku tidak
bisa mendengar percakapan mereka tapi aku yakin jika siBapak sol sepatu
sangat-sangat berterima kasih, dan si tukang mangga bahagia luar biasa karena
bisa memberikan sesuatu yang berarti.
Kejadian singkat, mungkin aku hanya menyaksikannya dalam hitungan detik,
tapi air matakku mengambang. Aku terharu. Orang kecil begitu tulus, sederhana,
dan tidak mengada-ada. Mendadak aku teringat kejadian pada perayaan hari raya
kurban yang baru saja berlangsung kemarin. Ketika seorang Bapak berpredikat
haji, dan mengaku sebagai pemilik pondok pesantren, datang dengan wajah penuh
amarah. Dia datang dengan diikuti oleh beberapa pemuda dewasa tanggung. Si bapak (konon) haji ini tidak hanya datang dengan wajah penuh
amarah, tapi juga berteriak-teriak seperti orang kesurupan, menuntut jatah
daging kurban dan uang. Semua yang menyaksikan terkesiap. Dan hanya bisa
beristighfar. Ketika beberapa pengurus masjid mencoba menenangkan, beliau malah
semakin emosional. Menurutnya dia berhak atas jatah daging lebih banyak lagi,
karena jumlah yang telah diberikan
sebelumnya kepada santrinya, tidak cukup. Bahkan dia menuntut uang atas bantuan
yang telah diberikan santrinya dalam proses penyembelihan. Entah dia yang
kurang memahami situasi ataukah tidak ada koordinasi, tapi yang jelas upah yang
menjadi hak si santri telah dibayarkan kepada yang bersangkutan. Sedih rasanya
melihat seorang yang mestinya menjadi contoh teladan bertingkah laku seperti
itu. Apalagi melihat santri-santri muda yang ikut datang menemaninya. Seperti
itukah contoh nyatanya? Tindak-tanduk serakah,kasar, menggertak, seperti itukah
yang akan ditiru oleh para santrinya? Jika ya, akan sungguh menyedihkan.
Kemaren aku menyaksikan langsung keserakahan orang yang
dipandang terhormat, dan aku yakin cukup berada, tidak kekurangan secara materi.
Tapi hari ini aku menyaksikan langsung kedermawanan orang yang bukan dianggap
siapa-siapa, hidup pas-pasan bahkan mungkin sekali dua mengalami kekurangan.
Begitu banyak pelajaran hidup dihadapan kita. Jika kita jeli dan mau sedikit
berfikir menggunakan akal yang dikaruniakan kepada kita, insya allah kita akan
selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Hari ini dalam perjalanan pendek
menuju kantor aku memetik hikmah, dan lirih aku berdo’a: Ya Allah, jadikanlah
aku orang yang selalu bersyukur, tidak serakah, dan bisa berarti bagi
orang_orang disekelilingku, amin yra.