Pernah lihat tukang menjajakan sendal dan sepatu dengan tas denim yang besarnya hampir sama dengan karung beras 20kg? Biasanya mereka menawarkan dagangannya secara langsung seperti pedagang asongan. Bahkan menurutku mereka memang pedagang asongan, bedanya dagangan mereka berupa sepatu dan sendal bukan kacang, rokok atau air mineral. Nah,..kali ini aku akan ngobrol nggak penting tentang seorang penjaja sepatu.
Setelah hampir berbulan-bulan lamanya aku tidak pernah hadir ke percetakan,..dan disuatu pagi mendadak aku sedikit insaf, dan itu semua dibuktikan dengan hadirnya aku kembali keruang kerjaku yang kelihatan berdebu. Setelah bla,..bla,..bla,..sana sini dan sedikit tunjuk sana, tunjuk sini,....aku menyalakan komputer. Awalnya memasukkan data-data penjualan, tapi tidak sampai dua jam aku mulai bosan. Dan seperti biasanya,….internetlah sebagai tempat pelarian. Browsing sana,..browsing sini,..lihat sana, lihat sini,..ternyata capek juga. Kepingin ngemil tapi tidak ada camilan apapun. Boro-boro camilan,..botol air minumku juga sudah kosong melompong. Setelah bongkar-bongkar laci aku menemukan teh kotak dilaci. Hm,..lumayan,…sambil minum teh, cuci mata melihat-lihat pemandangan diluar ah..
Selang beberapa saat setelah aku melihat kendaraan yang lalu-lalang, tiba-tiba pandangan tertumbuk pada seorang pedagang asongan sepatu dan sendal. Dia duduk dibawah sebuah pohon sambil memijit-mijit kepalanya. Posisiku yang berada dilantai dua membuatku bebas untuk mengawasinya tanpa dia sadari. Aku melihatnya berkali-kali menghela napas panjang. Kulihat juga beberapa kali dia menawarkan dagangannya pada kendaraan motor yang melaju agak pelan. Tapi tidak satupun yang mengacuhkan. Aku mulai tersentuh. Dengan posisi yang tidak berubah dia kembali memijit-mijit kepalanya. Aku melihat kelelahan yang amat sangat. Dan dalam hati aku bertanya, kapan terakhir kali dia makan? Tadi pagikah? Atau kemarin kah? Laparkah dia? Atau sakitkah dia? Kali ini giliran aku yang menghela napas mencoba untuk mengurangi rasa sesak yang tiba-tiba hadir. Sesaat kemudian dari kejauhan aku melihat seorang perempuan berjalan, dan dalam hitungan beberapa langkah pasti perempuan itu akan melintas si pedagang asongan sepatu sendal itu. Aku menunggu kejadian selanjutnya dengan penuh rasa penasaran. Dan seperti dugaanku sipedagang kembali menawari dagangannya,...siperempuan menggeleng,...lalu entah apa yang diucapkan sipedagang asongan, maka siperempuan itu kemudian merogoh-rogoh kedalam tasnya dan mengeluarkan dompet. Setelah membuka dompet berapa saat, kelihatan dia tidak menemukan apa yang dicarinya. Entah mengapa sepertinya dia membatalkan niatnya untuk memberikan uang. Mungkin dia tidak menemukan uang dalam pecahan kecil, atau mungkin juga dia hanya memiliki selembar uang didalam dompetnya yang juga sangat dibutuhkannya, atau beberapa mungkin-mungkin lainnya yang tidak aku ketahui sama sekali. Yang jelas sipedagang asongan sepatu sendal itu menyadarkan tubuhnya yang lemah kepohon yang menaunginya. Dan kembali aku lihat dia memijit-mijit kepalanya.
Aku memeriksa dompetku dan mengecek jika ada uang dalam pecahan kecil yang bisa diberikan untuk sekedar membelikan makanan. Tapi ternyata yang tersedia hanyalah selembar pecahan 50ribuan, alamak! Beberapa saat aku dilanda kebimbangan. Masak nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba ngasih 50 rebu!. No way...! Begitu kata iblis yang bersarang didalam hatiku. Tapi sang malaikat hadir dan menyadarkan aku betapa uang sejumlah itu bisa sangat berarti bagi kehidupan orang lain bahkan mungkin bisa menyelamatkan hidup orang lain. Dan itu semua wajar jika kita ingin berbuat baik godaanya pasti macam-macam. Namanya juga manusia. Kembali aku memandang keluar, kearah sipedagang asongan sepatu dan sendal itu. Dia masih duduk disana. Dan dia masih kelihatan lemah dan putus asa.
Aku langsung berdiri dan memanggil salah seorang karyawanku. Aku bawa dia kearah jendela dan sambil menunjuk keluar aku berkata,"Lihat pria berbaju merah yang duduk dibawah pohon itu, kelihatannya dia kurang sehat. Berikan uang ini dan suruh dia untuk membeli makanan" kataku.
Aku memandang lagi dari jendela kejadian selanjutnya. Aku lihat karyawanku sedang berbicara selama beberapa saat dengan si pedagang asongan itu. Tidak lama kemudian aku menyusul karyawanku yang telah kembali ke meja kerjanya. Dengan tidak sabar aku bertanya,.."Apa katanya?"...Lalu jawab karyawanku,"Dia menangis,bu. Katanya dia cuma ingin pulang ke kampungnya. Dan dia mengucapkan banyak-banyak terima kasih tapi saya bilang bukan saya yang menolong, melainkan ibu. Dan dia minta saya untuk menyampaikan terima kasihnya kepada ibu. Memang kasihan sih bu,..."kata karyawanku lagi. Aku hanya menarik nafas panjang dan memilih untuk tidak berkomentar.
Seminggu kemudian,..dua minggu kemudian,..dan sekarang sudah sebulan,..benar-benar tidak pernah aku lihat lagi sipedagang itu. Mungkin memang benar ia telah kembali ke kampung halamannya. Mungkin kini dia telah berkumpul dengan keluarganya. Mungkin sekarang dia berfikir bahwa hidup sederhana di kampung lebih baik ketimbang terlunta-lunta di kota. Terlepas dari segala kemungkinan yang ada aku bersyukur telah melakukan sesuatu yang berarti. Bukan hanya untuk orang lain tapi juga untuk diriku sendiri. Bahwa sebagian dari rejeki kita juga merupakan rejeki orang lain.
No comments:
Post a Comment