Beberapa minggu yang lalu aku mengantar adikku ke toko buku buku khusus didaerah pramuka. Perjalanan ke Jakarta menjadi agak langka bagiku karena daerah Tangerang sendiri sudah maju dengan pesat sehingga apa pun yang kita butuhkan semuanya sudah tersedia. Jadi aku hanya akan ke Jakarta jika ada keperluan yang benar-benar mendesak. Seperti perjalanan kali menuju toko buku Sagung Seto. Hari itu cuaca agak jelek karena berubah-ubah dengan ekstrim. Ketika aku berangkat dari Tangerang hujan turun dengan sangat derasnya, tapi mendadak menjadi panas terik ketika kami sampai ke daerah Tomang. Hingga akhirnya aku terjebak ditengah kemacetan di perempatan lampu merah Harmoni. Antrian begitu panjang. Butuh lebih kurang 4 sampai 5 kali pergantian lampu kiranya untuk sampai pada barisan terdepan. Dan seperti kebiasaanku sebelumnya aku menikmati pemandangan apapun yang ada disekelilingku.
Seperti layaknya pemandangan di sekitaran lampu merah tidak jauh-jauh dari pengamen, pengemis,dan pedagang asongan. Sambil mulutku menggerutu menyesali keadaan perekonomian indonesia yang semakin memburuk, mulai dari kalimat seperti "omong kosong angka kemiskinan menurun, mereka nggak liat apa semakin hari semakin banyak orang miskin dinegeri ini" dan kemudian kalimat klise seperti,"lebih baik jangan pernah memberi uang kepada mereka, karena itu malah membuat mereka semakin malas" disusul dengan rentetan kata-kata "kemana sih orang tuanya kok anak-anak bukannya sekolah malah berkeliaran di jalan-jalan" Dan seperti biasalah, aku ber "hah-huh" mengomel tanpa juntrungan. Mulutku tiba tiba terkunci ketika dari kejauhan aku melihat seorang anak perempuan kecil berumur kira-kira 8 tahun, seumuran dengan anak bungsuku, tapi dia berperawakan lebih kecil, sedang menggendong seorang bayi perempuan berumur kira-kira 8 bulan. Pandanganku tak lepas melihat kegiatan yang sedang dilakukannya. Mulai dari memperbaiki ikatan gendongan,.. menyeka keringat si bayi,..merapikan dompet lusuh yang kemudian dikalungkannya ke pergelangan tangan sang bayi. Semua dilakukannya dengan cermat dan hati-hati. Dan perlahan, dari kejauhan aku bisa melihat dia mulai mendatangi mobil satu persatu. Hatiku terasa perih, sangat perih. Tidak ada lagi arogansi dan kekerasan hati seperti kalimat-kalimat yang aku ucapkan sebelumnya. Ketika mereka berjalan semakin mendekat kearahku aku bisa melihat dengan lebih jelas lagi. Aku melihat nanar ke wajah mereka, wajah tanpa dosa. Melihat sang bayi yang bersandar ke dadanya, hatiku terasa semakin di cabik-cabik. Dan ketika mereka berada tepat disamping jendelaku, aku tidak mampu lagi menahan airmataku yang meluncur dengan derasnya.
Wajah polos itu,...Ya Tuhanku,..Aku tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Adikku menyorongkan sehelai tissue kepadaku dan mengulurkan beberapa lembar uang ribuan kearah bocah-bocah itu. Kerongkonganku terasa sangat sakit, terasa seperti dicekik. Aku sedih, aku marah, aku kecewa. Aku sedih melihat melihat wajah anak-anak itu. Aku marah pada orang tua yang telah melahirkan mereka tapi kemudian membuat mereka menjadi seperti itu, dan aku kecewa kepada negara yang tidak bisa memberikan perlidungan bagi rakyatnya. Kemiskinan ini benar-benar menghancurkan hingga ke cikal bakal penerus bangsa ini. Oh negeriku Indonesia,...
No comments:
Post a Comment